Selasa, 31 Mei 2016

LAGU DARIPADA PASUKAN TERAKHIR - Asrul Sani

Pada tapal terakhir sampai ke Jogja
bimbang telah datang pada nyala
langit telah tergantung suram
kata-kata berantukan pada arti sendiri.

Bimbang telah datang pada nyala
dan cinta tanah air akan berupa
peluru dalam darah
serta nilai yang bertebaran sepanjang masa
bertanya akan kesudahan ujian
mati atau tiada mati-matinya

O Jendral, bapa, bapa,
tiadakan engkau hendak berkata untuk kesekian kali
ataukah suatu kehilangan keyakinan
hanya kanan tetap tinggal pada tidak-sempurna
dan nanti tulisan yang telah diperbuat sementara
akan hilang ditup angin, karena
ia berdiam di pasir kering

O Jenderal, kami yang kini akan mati
tiada lagi dapat melihat kelabu
laut renangan Indonesia.

O Jendral, kami yang kini akan jadi
tanah, pasir, batu dan air
kami cinta kepada bumi ini

Ah mengapa pada hari-hari sekarang,
matahari sangsi akan rupanya,
dan tiada pasti pada cahaya
yang akan dikirim ke bumi.

Jendral, mari Jendral
mari jalan di muka
mari kita hilangkan sengketa ucapan
dan dendam kehendak pada cacat-keyakinan,
engkau bersama kami, engkau bersama kami

Mari kita tinggalkan ibu kita
mari kita biarkan istri dan kekasih mendoa
mari jendral mari
sekali in derajat orang pencari dalam bahaya,
mari jendral mari jendral mari, mari .......

P E N G A K U A N - Asrul Sani

Akulah musafir yang mencari Tuhan
Atas runtuhan gedung dan dada yang remuk
Dalam waktu tiada kenal berdiam dan samadi
Serta kepercayaan pada cinta yang hilang bersama kabut pagi
Akulah yang telah berperi
Tentang kerinduan akan penyelesaian yang tamat,
Dari manusia, dari dunia dan dari Tuhan

Ah, bumi yang mati,
Lazuardi yang kering
Bagaimana aku masih dapat,
Menyayangkan air mata berlinang
dari kembang kerenyam yang kering
Sedang kota-kota dan rumah-rumah bambu
lebih rendah dari wajah lautan

Satu-satu masih terbayang antara pelupuk mata
telah hampir terkatup,
Karena murtad. karena tiada percaya
Karena lelah, karena tiada punya ingatan,
Suatu lukisan dari deru air berlayar atas lunas
berganti-ganti bentuk

Dari suatu lembah gelap dan suram
Menguapkan kabut mati dari suatu kerahasiaan,
Tuhan yang berkata
Akulah musafir yang mencari Tuhan,
Dalam negeri batu retak
Lalang dan api yang siap bertemu
Suatu kisah sedih dari sandiwara yang lucu,
Dari seorang pencari rupa,
Dari rupa yang tiada lagi dikenalnya

Perawan ringan, perawan riang
Berlagulah dalam kebayangan
Berupa warena
Berupa wareni,

Dan berlupalah sebentar akan kehabisan umur
Marilah bermain
Marilah berjalin tangan
Jangan ingat segala yang sedih,
Biarkanlah lampu-lampu kelip
Lebih samar dari sinar surya senja
Kita akan bermain,
Dan tidur pulas, sampai
Datang lagi godaan:
"Akulah musafir yang mencari Tuhan”

POTRET SENDIRI AKHIR TAHUN ‘50 - Asrul Sani

Tiada lagi, kenangan! Tiada lagi
Jalan kembali telah terkunci,
Pasir mersik beterbangan melarikan jejak kaki,
Tulang-tulang dada sampai meranggah,
Berderik merih karena cekikan
Tetapi pandangan terakhir telah terlupa

Memang kota yang kudekati,
telah kelabu tenggelam dalam peresapan
Serta perburuan si pongang telapak
pada dinding dan ruh-ruh yang telah penasaran
Jalan-jalan lengang, di lorong-lorong tiada lagi
terdengar pekikan

Toh aku mesti jalan,
Kaki berpasang-pasangan, mata ikuti sosok tubuhku,
Tapi ini mata pun mata mati
mati dari mulut yang tiada akan bercerita lagi

Ada hati, kalau betul ada hati
Ia merasa kasihan dengan tiada perlu
Dalam mencari kawan baru
Aku hanya ingin menafaskan udara lain
Orang liwat jurang dan tinggalkan dataran

Jika hasil adalah: belati tadi ada di sisi
sekarang tertancap di dada sendiri
Maka kata akhir bukan lagi padaku
Hasil boleh datang kapan ia mau

VARIASI ATAS SUATU TANGGAPAN SESAT - Asrul Sani

Petandang mendendangkan kuda kampung di jalan sunyi
Pada malam yang jatuh kerut merut ke bumi
Serta rindu dendam dan matahari
Nanti berakhir pada burung bernyanyi, dan budak-kecil sunyi sendiri

Lamban jatuh tali-temali
Dan berduka camar yang bertengger di tiang tinggi
Serta rindu dendam gelombang dan matahari
Nanti berakhir pada arus tiada berperi, dan pemukat sunyi sendiri

Ambillah keluhan dan buang segala sedu-sedan
Berlupa sementara akan keliling yang mengikat
Dan kita mau berlepas untuk suatu kenyataan-merdeka,
Selamat saat masih sibuk dengan asmara sendu

Jangan tunggu sampai kuda kampung bebas dari bersunyi,
Burung camar tiada lagi bertengger di tiang tinggi,
Harga besar, tetapi waktu singkat
Lambai kekasih! Putar kemudi dan mari berlari

Kuda dan camar telah berlepas dari yang sementara
Dan kini larut dari lesu dan kerja
Kita juga tidak lagi mau perduli,
Ada ruang dalam kelemahan malam untuk persiapan besok pagi!

DONGENG BUAT BAYI ZUS PANDU - Asrul Sani

Sintawati datang dari Timur,
Sintawati menyusur pantai
Ia cium gelombang melambung tinggi
Ia hiasi dada dengan lumut muda,

Ia bernyanyi atas karang sore dan pagi,
Sintawati telah datang dengan suka sendiri

Sintawati telah lepaskan ikatan duka
Sintawati telah belai nakhoda tua,
Telah cumbu petualang berair mata
Telah hiburkan perempuan-perempuan bernantian
di pantai senja

Jika turun hujan terlahir di laut
Berkapalan elang pulang ke benua
Sintawati telah tunggu dengan wama biang-lala,
Telah bawa bunga, telah bawa dupa

Sintawati mengambang di telaga gunung,
Dan panggil orang utas yang beryakinkan kelabu
Telah menakik haruman pada batang tua,
Telah dendangkan syair dari gadis remaja

Sintawati telah menyapu debu dalam kota
Telah mendirikan menara di candi-candi tua,
Sintawati telah bawa terbang cuaca,
Karena Sintawati senantiasa bercinta

Sintawati datang dari Timur,
Sintawati telah datang ..........
.......... datang,
Sinta
datang ......!

ORANG DALAM PERAHU - Asrul Sani

Hendak ke mana angin buritan ini
membawa daku
sedang laut tawar tiada mau tahu
dan bintang, tiada
pemberi pedoman tentu

Ada perempuan di sisiku
sambil tersenyum
bermain-main air biru
memandang kepada panji-panji
di puncak tiang buritan
dan berkata
"Ada burung camar di jauhan!”

Cahaya bersama aku
Permainan mata di tepi langit
akan hilang sekejap waktu

Aku berada di bumi luas,
Laut lepas
Aku lepas
Hendak ke mana angin buritan
membawa daku

ON TEST - Asrul Sani

Engkau akan kubawa pergi
Dari candi ini
Ke tempat di mana manusia ada

Coba, coba
Di sana kata
Tidak hanya punya kita
Dan cinta mungkin kabur
Dalam kabut debu
Dan hidup menderu
Melingkungi engkau dan aku

Jalan panjang
Sampai di mana dunia terkembang?
Mata terlalu singkat untuk itu

Panjang jangan reka
Tujuan jangan terka
Pandang, di sana ada mereka,
Di sana ada mereka

Engkau akan kubawa pergi
Dari candi ini
Ke dunia: hidup air-dan-api